Meniti Jalan Menuju Sukses: Perjalanan Hidup Theo Derick sebagai Pebisnis dan Influencer

Theo Derick, seorang influencer di bidang keuangan dan pengembangan diri, telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang berkat prestasinya yang luar biasa di usia muda, dimulai dari titik nol. Dengan sikap yang penuh semangat dan positif, Theo berhasil memotivasi netizen dengan konten-kontennya. Tidak hanya itu, Theo juga merupakan pengusaha sukses yang telah membangun beberapa perusahaan dari awal, seperti Byte Project, Coffee Meets Stocks, dan Studio Acronym. Bahkan, ia mulai berbagi pengetahuannya melalui akun TikTok pribadinya selama masa pandemi, menunjukkan bahwa ia tetap produktif dan menginspirasi di tengah tantangan yang dihadapi.

Pertarungan dengan Ketidakpastian: Kesadaran akan Realitas Keluarga

Ketika masih kecil, Theo merasa kurang percaya diri terhadap dua hal utama. Pertama, saat di sekolah dan melihat orang tua teman-temannya hadir, sementara Theo hanya ditemani oleh ibunya yang bekerja keras sebagai orang tua tunggal. Kedua, rasa minder Theo muncul karena tantangan kehidupan yang sulit, seperti kekhawatiran saat pembayaran uang sekolah terlambat, yang selalu membuatnya gelisah karena tanpa membayar uang sekolah, ia tidak diperbolehkan mengikuti ujian. Ketika berada di SMA kelas 3, Theo baru menyadari perbedaan ekonomi yang signifikan, ketika dipaksa untuk berpisah dengan pacarnya karena single parents dan kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Setelah menyelesaikan SMA, dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Prasmul, di mana biaya kuliah harus diselesaikan setiap semester selama enam bulan. Oleh karena itu, dia harus membantu ibunya dalam memenuhi kewajiban pembayaran kuliah tersebut. Theo menyadari perlunya mendalami bidang bisnis dan perdagangan yang kemudian membawanya untuk memilih jurusan sekolah bisnis.

Membangun Kemandirian Finansial: Perjalanan Theo Derick Sejak SMA

Sejak SMA kelas 3, Theo telah memadamkan rasa gengsi dalam dirinya. Baginya, jika seseorang mengalami kesulitan finansial, sebaiknya jangan berpura-pura kaya karena seseorang tidak bisa memilih dari mana memulai. Namun, Theo percaya bahwa melalui proses dan usaha terbaik yang kita lakukan, Tuhan akan membuka jalan bagi kita. Sebagai seorang toserba, Theo selalu mencari solusi untuk kebutuhan konsumennya. Misalnya, jika seseorang bertanya apakah Theo menjual iPad? Theo akan berusaha mencarikannya setelah pulang dari kuliah. Mengapa barang-barang tersebut laku? Karena kebanyakan orang enggan turun langsung ke Mangga Dua untuk mencari barang dan mereka juga tidak tahu di mana menemukan toko yang menjual produk asli dengan harga terjangkau. Oleh karena itu, Theo berperan sebagai jembatan antara penjual dan pembeli, memberikan kemudahan akses kepada konsumen.

Kemudian, Theo melanjutkan mencari uang dengan berbisnis kue lapis. Salah satu teman dari ibunya bekerja di pabrik pembuatan kue lapis. Saat itu, untuk pemesanan kue dibandrol dengan harga 400 ribu rupiah. Namun, dia bisa mendapatkannya dengan harga diskon sebesar 175 ribu rupiah per kue lapis. Setelah dimasukkan ke dalam kotak dan dihias dengan pita, harga jualnya menjadi 250 ribu rupiah. Selama masa Lebaran, dia berhasil menjual 200 hampers kue lapis, dengan keuntungan 100 ribu rupiah per kotaknya.

Menjadi Penggerak Perubahan: Menaklukkan Tantangan di Popup Market

Pada semester 7-8 di Universitas Prasmul, mahasiswa diwajibkan membuat business project dengan berjualan. Salah satu konsep yang digunakan adalah pop up market, di mana mahasiswa dapat menyewa booth untuk berjualan selama enam bulan. Dengan 60-70 booth yang tersedia, perkiraan omzet-nya dapat mencapai 4-6 juta rupiah per booth dalam sehari. Nyatanya, hasil dari pop up market ini kebanyakan merugi, karena pameran ini juga berfungsi sebagai promosi kampus, dengan pengeluaran tinggi untuk dekorasi, materi, dan vendor lainnya.

Oleh karena itu, Theo mengusulkan konsep alternatif yang lebih efisien, yakni membuat event pameran di Grand Indonesia dengan membayar uang muka sebesar 50 juta rupiah. Jika bisnis gagal, ia tak keberatan kembali ke awal, selama tak berhutang. Dengan uang muka yang dibayarkan pada bulan September, persiapan yang dilakukan di bulan Oktober, dan event pada bulan Mei berikutnya. Bagi teman-teman yang ingin cepat lulus, Theo memberikan diskon sebesar 300 ribu rupiah untuk 50 slot pertama dan bagi yang membawa 10 teman, biaya sewa booth-nya menjadi gratis. Dari situlah segalanya dimulai. Kemudian, Theo aktif mencari peluang di pameran-pameran lain setiap minggu dengan membawa proposal pamerannya agar ada brand yang turut serta dalam pameran yang akan dia buat. Dari 110 tenant yang berhasil diajak bergabung, 67 di antaranya berasal dari Prasmul, dengan omzet mencapai 600 juta rupiah dan laba bersih sekitar 250 juta rupiah. Hal ini membuat Theo mantap melangkah untuk segera merencanakan dan merealisasikan ide pameran kedua hanya dalam waktu tiga bulan setelahnya, pada bulan Agustus.

Menggagas Ide Pameran: Exhibition Organizer vs Event Organizer

Bisnis paling besar yang ditekuni oleh Theo adalah model bisnis exhibition, karena Theo menyelenggarakan 40 pameran dalam setahun. Jika menjadi exhibition organizer, tanggung jawab ada diantara Theo dan mall. Lalu, semua biaya, baik untung maupun rugi, menjadi tanggung jawab Theo sendiri karena event yang dibuat sesuai dengan idenya sendiri dengan menggandeng mall sebagai pelaksana eventnya. Contohnya, Theo memiliki ide untuk mengadakan pameran korean beauty di sebual mall, lalu dia mengambil kendali penuh atas semuanya, dari menentukan anggaran hingga memilih penyewa booth, semuanya adalah Theo sendiri yang merencanakan. Brand tidak terlibat dalam merencanakan atau mengatur pameran korean beauty tersebut, mereka hanya perlu memutuskan apakah akan berpartisipasi dalam pameran atau tidak.

Sementara itu, jika menjadi seorang event organizer, tanggung jawab ada di antara brand dan Theo. Untuk biaya sepenuhnya ditanggung oleh brand tersebut. Sebagai contoh, sebuah brand minuman kesehatan ingin mengadakan acara di sebuah pameran dengan tema ‘kesehatan‘ dan mereka meminta Theo untuk menjadi event organizer. Tugas Theo adalah mengundang penyewa booth lainnya, mencari brand-brand yang sesuai dengan konsep kesehatan, tetapi harus berhati-hati agar tidak ada pesaing langsung untuk brand minuman tersebut. Theo diberi kebebasan untuk memilih brand lainnya berhubungan dengan kesehatan, seperti herbal, multivitamin, atau topik sehat lainnya. Kemudian, Theo menyusun budget untuk keseluruhan anggaran, menyiapkan quotation dan kemudian proposal setelah persetujuan budget. Setelah semuanya disetujui, brand minuman kesehatan tersebut tinggal menunggu hari-H. Dalam proses ini, Theo mengambil sebagian kecil dari biaya manajemen dan menambahkan margin ke vendor yang turut hadir.

Penyesuaian Strategi Bisnis: Kendala dan Penutupan Sementara Bisnis Pameran Selama Pandemi

Namun, bisnis pameran mengalami kendala selama masa pandemi, yang mengakibatkan harus ditutup sementara. Theo dan timnya juga menggunakan dana perusahaan untuk membayar pembatalan pameran yang seharusnya dilaksanakan di beberapa mall. Oleh karena itu, Theo memilih untuk fokus pada bisnis Coffee meets stocks yang telah ia bangun. Coffee meets stocks menjual kursus pembelajaran tentang investasi saham yang dilakukan sambil ngopi di coffee shop. Cukup membayar satu juta rupiah untuk bersama-sama belajar best practice saham. Saat itu ada sekitar 15 hingga 20 orang yang belajar tentang investasi saham setiap minggunya. Model bisnis kelas ini sangat kredibel, apalagi saat pandemi, Coffee meets stocks ini melanjutkan membuka kelas secara online melalui Zoom meeting. Mengapa orang menjual kursus, terutama melalui platform seperti Zoom? Karena margin keuntungan bersih bisa mencapai mencapai 98%.

Theo menilai Coffee meets stocks tidak berkelanjutan karena sifatnya B2C, yang mengharuskan dia terus mencari pelanggan baru karena tidak ada orang yang mau ikut kelas dengan materi yang sama dua kali sehingga tidak ada proses recurring. Dua hal ini harus beriringan dengan momentum karena jika tidak, perhatian orang akan terpecah dan bisnis tidak akan berkembang. Contohnya, pada tahun 2020 saat popularitas investasi saham meningkat karena situasi pandemi, kursus ini sangat diminati. Namun, sekarang ketika orang-orang kembali sibuk bekerja, minat terhadap kursus saham menurun. Bahkan, banyak yang beralih fokus ke kursus tentang mata uang kripto yang sedang populer.

Keterbatasan Brand dalam Berpartisipasi: Alasan Cashflow sebagai Kendala Utama

Meskipun ramai, tapi kemampuan untuk berbelanja di mall tidak sekuat sebelumnya. Sebagai akibatnya, pendapatan dari pameran tidak sebesar seperti sebelum pandemi. Masuk dalam bisnis cashflow tidak semudah yang dibayangkan. Untuk mengajak brand pameran di JCC misalnya, belum tentu brand tersebut mau bergabung karena alasan cashflow. Jadi tidak bisa sembarang membuat sebuah event. Kemudian, tidak dapat dipromosikan secara instan di TikTok atau dengan menyewa influencer untuk menarik perhatian brand tertentu untuk bergabung dalam pameran. Sebagai contoh, jika ada acara besar di JCC, dan Theo mengundang sebuah brand mobil untuk bergabung. Akan tetapi, brand tersebut mungkin akan menolak dengan alasan bahwa mereka sudah menetapkan budget untuk hanya menghadiri dua acara besar dalam satu tahun tersebut, yakni GIIAS dan IMF sedangkan acara yang Theo adakan masih sangat baru dan belum tentu ada prospek. Dalam situasi ini, tidak peduli seberapa baiknya upaya promosi yang dilakukan, akan sulit untuk berhasil karena cashflow budget sebuah brand sudah ditetapkan sebelumnya.

Meningkatnya Personal Branding: Magnet untuk Kerjasama dengan Brand

Dengan peningkatan personal branding, Theo dapat menarik minat banyak brand untuk bekerjasama dengan agensi kreatif, studio acronym miliknya. Saat itu, pegadaian akhirnya mengadakan campaign dengannya karena empat agency sekaligus merekomendasikan Theo. Selain itu, karena memiliki banyak tim di agensinya, dia juga dapat menyelenggarakan acara-acara dengan white label event sendiri. Sebagai contoh, ketika sebuah bank mengadakan roadshow di 9 kota, semua acara perusahaan besar ditangani oleh timnya sendiri.

Baca Juga: Dari Blog Pribadi hingga Media Besar: Transformasi Media Multi-Platform oleh Winston Utomo IDN Times

Related Posts

Mengungkap Meatguy Steakhouse Perjalanan Dims si Meat Guy

Mengungkap Meatguy Steakhouse: Perjalanan Dims si Meat Guy

Dimas Ramadhan Pangestu, owner dari Meatguy Steakhouse, atau yang biasa dikenal sebagai Dims the Meat Guy. Kisahnya dimulai dari sebuah keisengan mengunggah konten memasak daging di platform TikTok. Tidak disangka, kontennya menjadi viral sehingga memicu rasa penasaran banyak orang.

0